Minggu, 13 Oktober 2013

RUPIAH TERJUN BEBAS, KENAPA?


            Tahun 2013 merupakan tahun yang tidak bersahabat bagi nilai tukar rupiah. Selama periode 2013 ini, rupiah terus mengalami tren negatif, dimana hal itu merupakan periode terburuk dalam empat tahun terakhir. Dua tahun lalu, tepatnya pada 24 Maret 2011, tonggak rupiah pernah mencapai Rp 8.722/US$ yang merupakan nilai terkuat sejak tujuh tahun periode sebelum tahun 2011. Sangat jauh dibandingkan dengan tonggak rupiah pada periode 2013 yang bisa dilihat pada nilai tukar rupiah yang ditunjukkan pada 27 September 2013 yang mencapai level Rp 11.590/US$.
            Lemahnya mata uang rupiah ini menimbulkan trauma tersendiri bagi masyarakat Indonesia terhadap memori kelam krisis moneter pada tahun 1998 lalu. Akan tetapi, kondisinya tentu berbeda karena penyebab melemahnya rupiah pada tahun 2013 ini disebabkan oleh beberapa faktor yang kompleks yang karakteristiknya berbeda dengan krisis 1998 lalu. Melemahnya rupiah pada periode 2013 ini disebabkan oleh faktor eksternal dan faktor internal. Salah satu faktor eksternal adalah adanya bank sentral AS (The Fed) mengurangi program stimulus yang menyebabkan menguatnya dolar Amerika Serikat terhadap semua mata uang dunia. Kebijakan tersebut menyebabkan aliran modal masuk ke Amerika dan stock market di berbagai negara jatuh. Efek lain yang timbul yaitu menyebabkan lesunya bursa-bursa regional, mata uang di kawasan regional juga anjlok sama halnya yang dialami Indonesia saat ini. Faktor eksternal lain yang menyebabkan rupiah melemah adalah krisis Timur Tengah khususnya di Syria yang menyebabkan adanya respon pasar yang negatif di kawasan Asia.
            Selain faktor eksternal, faktor internal juga tidak dapat dikesampingkan mempengaruhi melemahnya rupiah itu sendiri. Pemerintah yang tidak tegas dalam pengambilan-pengambilan keputusan termasuk salah satunya. Lihatlah ketika penentuan kenaikan harga BBM yang terlihat adanya keraguan dari pemerintah menyebabkan adanya ketidakpercayaan pasar terhadap pemerintah. Hal itu diperparah ketika rupiah dalam kenyataannya sedang terpuruk, namun pemerintah  mengeluarkan statement yang menyatakan ekonomi makro Indonesia masih dalam tahap aman dan tidak separah negara lainnya. Sentimen tersebut justru membuat pelaku pasar lebih agresif dalam melepas mata uang domestik. Pelaku pasar menganggap komentar tersebut tidak mengindikasikan adanya langkah strategis dalam menahan pelemahan rupiah.
            Masyarakat Indonesia tentunya tidak menginginkan rupiah semakin terpuruk, karena banyak sektor yang sudah terkena imbas baik langsung maupun tidak langsung akibat krisis mata uang rupiah ini. Pemerintah diharapkan mampu memberikan keputusan yang dapat memberikan sentimen positif terhadap nilai mata uang rupiah. Banyak solusi yang harus dihadirkan. Salah satu langkah jangka pendek untuk mengantisipasi terus melemahnya nilai tukar rupiah yakni menaikkan suku bunga bank. Dimana baru-baru ini Bank Indonesia (BI) telah memutuskan menaikkan tingkat suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 50 basis poin dari 6,5 persen menjadi 7 persen dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG). Namun, kebijakan BI ini juga akan menimbulkan masalah lain . Naiknya BI Rate diprediksi juga akan mempengaruhi besaran bunga kredit perbankan sehingga akan berdampak negatif terhadap suku bunga kredit industri perbankan. Sektor lainnya yang akan terkena dampak kenaikan BI Rate adalah sektor yang mendapatkan pembiayaan dari perbankan ataupun instrumen investasi lain yang berhubungan dengan suku bunga, seperti sektor properti. Selain itu sektor riil yang ada di masyarakat juga harus diperhatikan oleh pemerintah sebagaimana yang ‘katanya’ Indonesia menganut ekonomi kerakyatan. Solusi tentu bukan hanya dilakukan pemerintah sendirian. Banyak pihak yang harus mendukung agar rupiah menguat kembali, masyarakat harus turut serta dalam memberikan konstribusi nyata terhadap kehidupan ekonomi Indonesia pada hari-hari mendatang.
Tri ‘12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar